Pernikahan adalah hal yang fitrah…..
didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun
perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan
sunnah bagi yang melaksanakannya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan rasa saling
tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu
saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan
keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan
rangkaian ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang di dalamnya
banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan
tersebut.Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:
Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman). Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Keua orang tuanya mendesak terus agar ia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan ! Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi istri seseorang yang sefaham dengannya nanti … bisa ngaji sama-sama, bisa mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa iba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lezatnya menimba ilmu.
Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah
menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikeras, mengizinkan
dengan ketulusan hati seorang bapak kepada putrinya, demi kebaikan
anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua
Fulanah dan teman-temannya.
Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia.
Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah
tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan
akan selalu bersama disampingnya.
Hari-hari terus berjalan sebulan-dua
bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah
timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak
sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal
yang harus ia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; ia
berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik. Mungkin
ia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita
yang berpenampilan indah dan menarik.
Ini hanya satu contoh dan masih banyak
hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah
merasakan lezatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu.
Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari
pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan”.
Fulanah yang masih kurang ilmu diennya,
menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan
melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa.
Ia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan.
Konflik rumah tangga pun terjadi. Ternyata konflik dengan orang tuanya
yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang
sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai …
dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !
Sesungguhnya kasus yang terjadi di atas
banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir
panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah.
Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari
pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan.
Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ;
suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi
runyam berantakan. Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan
ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia,
menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi
korban kecerobohan karena faktor ketergesaan.
Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah
seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah
yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari
masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan
timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa
tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin
jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah
diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.
Pentingnya Ilmu
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik
radiyallahu ‘anhu :
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al
Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi,
ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas
panjang lebar tentang derajat hadits ini)
Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu
dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi
siapa pun yang mengenalnya.
Kita harus berilmu agar selamat hidup di
dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang
diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mana yang
dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak
sesuai dengan sunnah (bid’ah).
Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal
dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan
setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan
keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan
lain sebagainya.
Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).”
(QS. Fathir : 28)
(QS. Fathir : 28)
Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada kontrolnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.
Imam Ahmad berkata :“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala” (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)
Orang yang berilmu akan tahu betapa berat
siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga
membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam
beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.
Perlu diingat bahwa bukanlah yang
dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak
kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu
apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari
ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)
Ilmu merupakan obat bagi hati yang sakit
dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah
mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan
menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan
bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.
Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan
merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan
sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah
ta’ala :
“… Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat….”
(Al Mujaadilah : 11)
(Al Mujaadilah : 11)
Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien
ini, melebihij kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa
kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk
bernapas.
Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga
Karena nikah merupakan amalan yang sangat
mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan rangkaian dari
ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau
mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah
pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu
rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan
Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya
pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi
banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan
suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan
yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam
rangka mencari ridha-Nya semata.
Di samping itu juga dengan ilmu sepasang
suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya
bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.
Suami dan istri juga diamanahi Rabb-Nya
untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang
tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful
ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di
atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan imand dan ajaran Islam
sejak kecil sampai dewasanya. Sungguh … ini merupakan tugas yang berat
dan tentu saja butuh butuh ilmu.
Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.
Tarbiyah Dalam Rumah Tangga
Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :
“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita …”
(An Nisaa : 34)
(An Nisaa : 34)
salah satu tugas suami sebagai qawwam
adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan
mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan
waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk mentarbiyah keluarganya yang
dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi
keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri (syukur
kalau memang sejak sebelum nikah si istri sudah mencintai ilmu) agar
kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal
dengannya.
Walaupun Islam telah menetapkan bahwa
memberikan pengajaran, mendidik dan mengarahkan istri merupakan salah
satu kewajiban suami namun sangat disayangkan masih banyak kita jumpai
suami yang melalaikan dan menggampangkan hal ini. Atau si suami merasa
cukup dengan pengetahuan dien yang minim dari sang istri sehingga
menganggap tidak perlu menyediakan waktu untuk mendidik dan memberikan
nasehat. Mungkin kasus ini seperti ini tidak hanya kita jumpai di
kalangan orang yang awam bahkan di kalangan du’at (para da’i). Kita
lihat mereka sibuk mengurusi da’wah di luar rumah, sementara istrinya di
rumah tidak sempat didakwahi. Akibatnya si istri tidak ngerti thaharah
yang benar, shalat yang sesuai sunnah, mana tauhid mana syirik dan
lain-lain (mungkin kalau si istri sebelum menikah sudah mempunyai ilmu,
hal tersebut tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau istrinya masih
jahil ?) Sungguh hal ini perlu menjadi perhatian bagi para suami.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu ….”
(QS. At-Tahrim : 6)
(QS. At-Tahrim : 6)
Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga
Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian
dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian”
Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan
sempurna kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya
menjauhi syirik dan perbuatan maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu
dan persiapan diri untuk mengamalkan apa yang telah diketahui (Lihat
Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387, ta’lif Abu
Bakar Jabir Al Jazairi)
Berkata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya: “Karena
itu wajib bagi kaum laki-laki (suami) untuk memperbaiki dirinya dengan
ketaatan dan memperbaiki isterinya dengan perbaikan seorang pemimpin
atas apa yang dipimpinnya. Dalam hadits yang shahih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam
merupakan pemimpin manusia dan ia akan ditanyai tentangnya dan laki-laki
(suami) adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanyai tentangnya.”
Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”Berkata Muqatil: “Yang demikian itu wajib atasnya untuk dirinya sendiri, anaknya, istrinya, budak laki-laki dan perempuannya.”
Berkata Al-Kiyaa: “Maka wajib atas kita
untuk mengajari anak dan istri kita akan ilmu agama, kebaikan serta
adab.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi juz 8, hal. 6674-6675).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari
istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan
ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.
Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :
… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya …
(An Nur : 31)
(An Nur : 31)
Mereka pulang menemui istri-istrinya dan
membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah istri-istri mereka
melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3
hal. 284)
Ini merupakan contoh bagaimana suami
menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya
di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.
Sebagai penutup, kami himbau kepada
mereka yang ingin menikah atau sudah menikah agar tidak mengabaikan
ilmu, dan berupaya memilih pasangan yang cinta akan ilmu agar kelak anak
turunan juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar